Saya..
Saya masih ingat, di waktu itu kamu memperhatikan saya dari jauh namun lekat. Saya yang tidak menyadari melenggang santai melewati kamu dan gerombolanmu. Samar samar memang terdengar seseorang menyapa, namun karena wajah kalian asing di mata saya, saya tetap berjalan lurus ke arah taman perpustakaan dan duduk di bangku menunggu seorang teman.
Saya masih ingat, saat salah seorang teman kamu datang menghampiri saya. Saya yang kebingungan juga heran kenapa bisa dengan mudah menerima sebuah pemberian yang disebutkannya sebagai surat titipan dari kamu. Saat itu saya sedang membaca buku. Tentu saja saya acuh. Tapi saya masih tahu bahwa kamu dan teman teman kamu masih duduk di ujung sana tetap memperhatikan saya.
Saya masih ingat, begitu surat dari kamu saya baca, kamu langsung datang menghampiri saya. Dengan sopan dan senyum malu malu kamu memperkenalkan diri kamu dan meminta ijin untuk duduk bersama saya. Kamu tidak banyak berbicara dan saya juga menjawab sapaan kamu seadanya. Masih terasa lucu karena surat yang saya terima bukan lah surat dengan kertas berwarna merah. Tapi hanya selembar kertas dari binder kuliah yang itu pun sudah di robek setengah. Saya tertawa membaca surat yang kamu bilang sudah kamu tulis dengan susah payah. Saya tersenyum membacanya. Di tahun 2010, siapa yang menyangka saya akan mendapat selembar surat walaupun bukan surat cinta.
Saya masih ingat, teman teman saya menertawakan kamu dan tingkah laku kamu yang datang tiba tiba dan memberi saya sebuah surat. Mereka bilang kamu kuno. Kekanak kanakan. Tapi ada sesuatu yang berbeda yang saya ingat dari surat kamu. Saya tidak merasa dirayu bahkan tidak sedikitpun saya anggap kamu lucu. Saya menyukai hal yang sederhana. Dan dari sebuah surat kecil yang selalu saya simpan rapi di dompet, saya tahu, kamu telah menyita perhatian saya.
Saya masih ingat, bagaimana kita akhirnya bisa berhubungan baik. Kamu banyak bercerita tentang diri kamu dan saya juga banyak bercerita tentang diri saya. Kamu terlau tenang. Dan saya yang meledak ledak kadang merasa heran, kenapa bisa merasa nyaman.
Saya masih ingat, waktu saya mengabarkan kalau saya harus terpaksa menginap di rumah sakit. Di saat semua teman teman dekat saya datang membawa segala bentuk makanan, kamu datang membawa sebuah bemda mungil yang saya suka. Kamu bilang, sebelum kita berkenalan, kamu sering melihat saya duduk sendirian di taman membaca buku sampai teman teman saya datang. Lalu saat kamu datang menjenguk saya, kamu bawakan saya sebuah buku, yang menurut pengakuanmu itu buku kakak kamu yang sengaja kamu ambil untuk kamu berikan kepada saya.
Saya masih ingat, di hari hari selanjutnya selalu ada kamu di dalam cerita saya. Walau kita jarang berjumpa, kamu tidak pernah absen menelepon saya. Dan kalau saya tidak bisa tidur kamu menemani saya lewat yahoo messenger, chat room favorit saya. Saya selalu menunggu hari sabtu. Hari yang selalu kamu janjikan untuk mengajak saya jalan jalan atau bahkan hanya untuk makan. Kamu bilang saya rakus, karena sisa makanan di piring kamu selalu saya habiskan. Kamu suka mengajak saya ke kedai kopi di pojok jalan itu. Walaupun riuh, sang pemilik kedai selalu menyisakan satu meja kosong favorit kamu, untuk kita. Lalu satu malam itu kita habiskan hanya dengan bercerita dan tertawa.
Saya masih ingat, di suatu hari kamu tiba tiba menghilang. Saya yang terbiasa dengan kehadiran kamu merasa ada satu hal yang hilang di hari hari saya. Semua pesan yang saya kirimkan tidak terbalas. Semua telpon yang saya tujukan untuk kamu tidak pernah terangkat. Di hari itu saya ingat, kamu sudah memberi jarak.
Mereka bilang tidak ada hal yang istimewa dari kamu. Tapi di mata saya tidak. Kamu menemani hari hari saya dengan pas, tidak pernah berlebihan. Tidak banyak rayuan tidak banyak pujian. Tidak pernah ada bunga dan tidak pernah ada hadiah. Kehadiran kamu yang melengkapi saya dengan pas lah yang akhirnya membuat saya merasa kehilangan.
Saya masih ingat, semua pesan kamu di waktu subuh yang selalu mengingatkan saya untuk berdoa.
Saya masih ingat, semua makanan yang kamu kirimakn ke kosan saya setiap kamu tahu saya belum makan.
Saya masih ingat, saat kanu genggam tangan saya dengan erat saat saya harus kehilangan ibu dan dengan ketenangan kamu, kamu menghapus air mata saya.
Saya masih ingat, setiap malam jam sembilan kamu selalu menelpon saya dan memastikan saya untuk tidak tidur lewat jam dua belas.
Saya masih ingat, saat kamu menculik saya jam 2 malam di hari ulang tahun saya, lalu membawa saya pergi bersama teman teman kamu. Mengejar matahari terbit terindah yang pernah saya ceritakan dan kamu bilang di pagi ini matahari terbit ini adalah hadiah ulang tahun untuk saya.
Saya masih ingat, di hari sabtu tertentu kamu selalu mengajak saya untuk menemani kamu melihat klub sepakbola jagoan kamu berlaga. Walau kamu tahu saya tidak suka sepak bola. Kamu hanya bilang kamu ingin di temani.
Saya masih ingat, saat saya menelpon kamu jam 1 dini hari, saya menangis karena saya bilang saya rindu ibu saya, kamu langsung datang ke kosan saya dan mengajak saya pergi berkeliling kota yang rasa rasanya hanya milik kita berdua.
Lalu sekarang tiba tiba kamu lenyap. Saya tidak tahu harus mencari dari mana. Karena saya merasa saya tidak memiliki hak apapun atas kamu. Kita hanya teman dekat, tidak pernah berpacaran. Dan itu yang menjadi pedoman saya untuk siap saat kamu tiba tiba menghilang.
Surat itu masih saya simpan. Saya baca kadang kadang. Tidak bisa menangis. Karena semua ingatan temtang surat itu terlalu manis.
Saya masih ingat, disurat itu hanya kamu tuliskan stau kalimat.
"Hai Medina, saya hanya ingin berkenalan. Boleh?"
Saya masih tersenyum saat membaca surat dari kamu.
Dan saya masih ingat sorotan teduh mata kamu saat kamu bilang matahari terbit di hari itu adalah hadiah ulang tahun kamu hanya untuk saya.

Komentar