Cerita dari Sudut Jalan Dekat Sekolah
Hari ini aku berangkat ke sekolah diantar oleh Ibu. Hore! Aku sudah masuk SD, sudah besar. Tapi ibu tetap ingin mengantarku, padahal aku malu kalau harus diantar Ibu. Aku kan sudah memakai seragam sekarang, masa kemana – mana masih diantar Ibu?!
Tapi
biarlah, mungkin Ibu hanya ingin merayakan kalau anak kesayangannya sudah besar
dan berseragam. Aku ingat pesan ibu pagi ini saat merapikan dasi merahku, kata
Ibu aku harus belajar baik – baik, harus menjawab paling keras saat guru – guru
memberikan pertanyaan, harus menjadi yang paling rajin untuk mengerjakan pr dan
harus menjadi siswa paling pintar di sekolah. Tidak masalah, karena akan selalu
ada Ibu yang membimbingku.
Sekolah
tidak jauh lagi, tinggal belok ke kiri di depan sana. Tapi hari ini ramai
sekali. Aku melihat banyak bapak Polisi sedang berjaga di ujung jalan sana.
Apakah Presiden kita hari ini sedang datang mengunjungi kota? Asik. Aku akan
bertemu Presiden kita, Presiden Indonesia. Dia mungkin hanya melambaikan tangan
saja, tapi itu sudah cukup untuk membuat iri teman – teman baruku nanti di
sekolah. Aku sudah tidak sabar dan kutarik tangan Ibu untuk segera cepat
berjalan.
Ini bukan
iring – iringan untuk menyambut kedatangan Presiden tercinta. Tidak mungkin
seorang Presiden disambut dengan begitu banyaknya polisi yang bertameng dan
bersenjata. Tiba – tiba aku merasa Ibu ketakutan. Tanganku tidak lagi digenggam,
aku sudah berada di gendongan. Ibuku berlari dengan panik, aku yang diam di
gendongan masih belum mengerti kenapa banyak orang berlari kesana kemari. Yang
aku tau sekarang, aku sedang duduk di dekapan Ibu dibalik satu mobil yang
terparkir di pinggir jalan dekat belokan kiri yang menuju sekolahku.
Ibuku
berkeringat dingin, berkali – kali diusapkan jarinya di mukaku. Bu, aku tidak
berkeringat. Justru yang ingin kulakukan sekarang adalah mengambil saputangan
lalu mengusap dahi Ibu.
“Ya Allah,
selamatkanlah aku dan anakku”
Aku
mendengar Ibu sudah hampir menangis. Sebenarnya apa yang terjadi ini? Kenapa
ada orang di sana melempar – lempar batu ke arah kumpulan polisi? Bukannya
polisi itu orang baik?
“Dorr. Dorr.
Dorr”
Aku
tergagap. Itu suara tembakan seperti yang sering kulihat di film televisi. Apa
ada penjahat di sekitar sini? Kenapa harus ada penjahat di dekat sekolahku.
Lihat sekarang, aku tidak bisa menuju ke sekolah tepat waktu.
“Bu, aku
takut”
Aku menangis
kencang – kencang di pelukan Ibu. Suara – suara semakin riuh. Batu – batu
melayang kesana – kemari semakin tak tentu. Aku takut. Ini seperti perang yang
kulihat di televise kala itu.
Ibuku tidak
lagi memelukku kencang. Dekapannya melonggar. Aku masih meringkuk takut.
Kupanggil Ibuku kuat – kuat, Ibu hanya diam. Ibu aku takut, teriakku. Tapi Ibu
hanya diam membeku.
Noda merah
apa ini? Ada noda merah menembus baju putih Ibu, dengan luka bulat ditengahnya.
Ini darah. Ibuku berdarah. Aku berteriak dengan kencang. Menangis meraung –
raung entah memanggil siapa. Ibuku berdarah dan dia hanya diam saja. Tembakan
hanya untuk penjahat, bukan untuk Ibuku. Ibuku orang baik, dia hanya ingin mengantarku
sekolah bukan seorang penjahat Negara yang patut di tembak tepat di dada.
Tangis dan
teriakku menyatu dengan suara gaduh polisi dan kumpulan mahasiswa yang sedang
berdemo entah karena apa. Entah karena masalah Negara atau hanya karena ingin
membuat onar saja.
Tapi ini
Ibuku yang sudah tidak berdaya. Lihat dadanya berlumuran darah, bahkan tubuhnya
sudah tidak bernyawa. Peluru yang berbelok menembus mobil yang terparkir di
dekat belokan kiri di ujung jalan akhirnya bersarang di dada Ibuku tersayang.

Komentar