Titik Nol
Agustinus Wibowo. Jujur pertama kali saya lihat setumpuk buku dengan cover biru di rak - rak toko buku, sama sekali asing dengan nama itu. Ini siapa? Seperti yang sudah - sudah, karena suasana hati langsung membaik yang artinya pertanda bagus, melayanglah Titik Nol ini ke meja kasir. Waktu itu awal tahun 2012, apa salahnya merayakan tahun baru dengan sebuah buku baru?
Wow.
Satu - satunya kata yang keluar setelah buku ini di khatamkan. Agustinus menuliskan kisah perjalanannya dengan luar biasa. Bukan sekedar buku panduan travelling biasa, yang biasanya menuliskan panduan umum dibumbui kisah konyol di setiap cerita, Agustinus berbeda. Dia mengisahkan perjalanan itu sendiri!
Keraguannya saat pertama kali akan menjelajah Cina dengan cita - cita yang berakhir di selatan Afrika. Agustinus menuliskan semua kisahnya dengan hangat seolah ikut membawa si pembaca mengikuti setiap jejak - jejak kakinya melewati Tibet, India, Pakistan, Afghanistan.
Nilai perjalanan tidak terletak pada jarak yang ditempuh seseorang, bukan tentang seberapa jauhnya perjalanan, tapi lebih tentang seberapa dalamnya seseorang bisa terkoneksi dengan orang-orang yang membentuk kenyataan di tanah kehidupan.
Lam Li,seorang sahabat yang di anggap guru oleh Agustinus menyimpulkan dengan tepat apa sebenarnya makan sebuah perjalanan. Bukan sekedar perlombaan siapa yang dapat mengumpulkan cap imigrasi paling banyak atau siapa yang dapat bepergian dengan biaya seminin - minimnya. Perjalanan adalah perjalanan. Perjalanan yang bukan sekedar mengenyangkan mata tapi juga menenangkan hati.
Titik Nol menjadi barang berharga yang saya bawa sewaktu menyebrang ke Karimun Jawa dan mampu mengubah mata dan hati saya dalam melakukan perjalanan - perjalanan berikutnya.


Komentar