Tanpa Lambaian Tangan dan juga Pesan
Tidak ada
yang menyenangkan dari perpisahan. Apalagi perpisahan yang tak sempat
berpamitan. Paru – paru seperti ingin meledak karena sesak. Jantung pun tak
lagi berirama detaknya, begitu memburu seolah ada yang melaju dengan kecepatan
luar biasa.
Beruntunglah
yang sempat melambaikan tangan dengan senyuman atau saling bertukar sapa lalu
saling berpamitan. Mungkin rasanya tidak seburuk yang ditinggalkan tanpa pesan.
Ini bukan
kisah patah hati dengan cerita cinta klise yang itu – itu saja. Ini tentang
perpisahan. Tentang sebuah jarak yang tiba – tiba terbentang begitu luas yang
bisa saja membuatmu tenggelam dalam kesedihan.
Aku pernah
mengalami perpisahan yang begitu menyakitkan. Perpisahan bisu tanpa lambaian
tangan dan tanpa pesan. Yang terakhir bisa kuingat hanya pandangan mata yang
menatapku begitu dalam. Tatapannya serupa peluru yang dilepaskan seorang
penembak jitu. Begitu jauh menembus retinaku dan melaju menyergap setiap sendi
badanku, membuatku benar – benar tidak berdaya.
Sang pemilik
mata itu adalah Ayahku. Beberapa jam setelah tatapan dingin yang dilemparkan
padaku, aku mengalami perpisahan itu. Perpisahan yang begitu menyakitkan. Benar
– benar perpisahan tanpa lambaian tangan ataupun pesan. Senja itu begitu
kelabu. Aku baru sadar tatapan mata itu adalah cara Ayah berbicara kepada anak
gadisnya. Sayangnya anak gadisnya begitu bodoh hingga tidak mengetahui ada
makna dari tatapan mata itu. Harusnya aku meraih tangannya atau sekedar
memeluknya sebelum pintu ambulance itu tertutup rapat. Mungkin saja Ayah ingin
memeluk anak gadisnya sekedar mendengarkan suaranya untuk meyakinkan dirinya
bahwa dia baik – baik saja. Mungkin tatapan mata itu adalah salam perpisahan,
salam perpisahan tanpa lambaian tangan dan juga pesan.
Senja itu
kelabu. Ayahku kembali dalam keadaan membeku. Darahnya tidak lagi mengalir dan
matanya tidak lagi terbuka. Aku baru beberapa hari pulang ke rumah, lalu
sekarang Ayahku sudah pergi jauh menuju rumah abadi-Nya.
Jarak itu
datang dengan tiba – tiba tanpa memberi kabar kalau dia akan segera muncul di
depan mata. Bagaimana aku bisa melipat jarak? Jarak antara aku yang hidup
dengan Ayahku yang sekarang hanya memiliki raga, bukan jiwa.
Tidak ada
perpisahan yang menyenangkan. Semua begitu menyakitkan. Lalu kemarin ada berita
tentang sebuah pesawat yang hilang di lautan. Mereka sempat mengucapkan salam,
selam penuh harapan untuk segera kembali pulang. Ada juga yang menunggu di
seberang dengan sejuta harapan agar yang ditunggu bisa segera datang. Lalu tiba
– tiba yang datang hanyalah perpisahan. Perpisahan tanpa lambaian tangan penuh
senyuman dan juga pesan.
Untuk semua
yang ditinggalkan, lipatlah jarak dengan doa, doa tidak mendekatkan namun
menenangkan, untuk yang ditinggalkan ataupun yang meninggalkan.


Komentar